Jumat, 15 Maret 2013



Pembahasan
A. Sejarah Munculnya Upacara Mitoni (Tingkeban)
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat JawaMenurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, nenek moyang kita melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang syarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut “mitoni” yang masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Jawa.
Selain itu, di sisi lain: Mitoni sendiri berasal dari kata pitu atau tujuh. Hal itu karena mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Ritual ini bertujuan agar calon bayi dan ibu selalu mendapatkan keselamatan. Ada beberapa rangkaian upacara yang dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman sebagai simbol, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog (mencuri telur). Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran marabahaya dan petaka dari ibu dan calon bayinya.
Mitoni (Tingkeban) menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Upacara Mitoni (Tingkeban) atau selamatan yang menandai tujuh bulan usia kehamilan itu begitu indah menarik dan mengandung seribu makna. Peristiwanya selalu berbunga-bunga sekaligus mendebarkan, karena tidak lama lagi, sepasang temanten atau suami istri akan segera menjadi ibu dan bapak, sepasang papa mama akan segera menjadi kakek nenek. Mbah kakung putri akan segera menjadi eyang buyut dan seterusnya.
Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan.
B. Perlengkapan Upacara Mitoni
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu  genap dan jumlahnya 12 atau 16.
Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa
No
Nama Hari
Neptune
No
Nama Pasaran
Neptune
1
Akhad
5
1
Pon
7
2
Senin
4
2
Wage
4
3
Selasa
3
3
Kliwon
8
4
Rabu
7
4
Legi
5
5
Kamis
8
5
Pahing
9
6
Jum’at
6



7
Sabtu
9



Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12 dan Akhad Pon memiliki neptu 12.
Selain hari juga harus mempersiapkan jarit atau kain. Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Tabel 3. Jenis Kain dan Maknanya.
No
          Jenis Kain Batik
Maknanya
1
Sidomukti
Kebahagiaan
2
Sidoluhur
Kemuliaan
3
Truntun
Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
4
Parang Kusuma
Perjuangan untuk hidup
5
Semen Rama
Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu tetap bertahan selama-lamanya.
6
Udan Riris
Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam kehadirannya di masyarakat
7
Cakar Ayam
Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
C. Pelaksanaan Upacara Mitoni
Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore, dan dihadiri oleh segenap sanak saudara, para tetangga serta para kerabat. Setelah melakukan serangkaian upacara, para tamu yang hadir diajak untuk memanjatkan doa bersama-sama demi keselamatan ibu dan calon bayinya. Tak lupa setelah itu mereka akan diberi berkat untuk dibawa pulang. Berkat itu biasanya berisi nasi lengkap beserta lauk pauknya.
Mitoni tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat. Dulu mitoni biasa dilakukan di pasren atau tempat bagi para petani untuk memuja Dewi Sri, Dewi Kemakmuran bagi para petani. Namun mengingat dewasa ini sangat jarang ditemui pasren, maka mitoni dilakukan di ruang tengah atau ruang keluarga selama ruangan itu cukup besar untuk menampung banyak tamu. Anggota keluarga yang tertua seringkali dipercaya untuk memimpin pelaksanaan mitoni.
Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana.
1.     Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2.      Siraman
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi. Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Gayung yang dipakai untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lobang
Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya. Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya. Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi.
3.      Brojolan
Calon Ibu memakai kain longgar yang diikat dengan letrek. Kemudian, calon nenek memasukkan telur ayam kedalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.
Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga. Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: \”Perempuan!\” Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak: \”laki-laki!\” Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang.
Selain itu, ada yang menggunakan Kendi yang telah digunakan untuk memandiakn calon Ibu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak: \”Cowok! Laki! Jagoan! Harno!\” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir laki-laki. Namun jika kendi pecah berkeping-keping, dipercaya anaknya nanti bakal perempuan. Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar. Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin.
4.      Tigas Kendit
Calon ibu berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, putih melambangkan tanggung jawab calon bapak bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. Tidak ada letrek, janur kuning pun jadi.
Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.
5.      Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu. Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.
Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana tersebut menberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja. sudah. Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur, seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas














Penutup
A.    Simpulan
Berdasarkan uraian panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkeban adalah suatu bentuk inisiasi masyarakat  pada jaman dahulu, yang mengharapkan dikaruniai anak yang seperti diharapkan  serta memperoleh kelancaran baik ketika mengandung maupun saat melahirkan. Tradisi ini dipercaya berawal pada masa Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Jawa.
Mitoni sendiri berasal dari kata pitu atau tujuh. Hal itu karena mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Ritual ini bertujuan agar calon bayi dan ibu selalu mendapatkan keselamatan. Ada beberapa rangkaian upacara yang dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman sebagai simbol, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog (mencuri telur).
Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran marabahaya dan petaka dari ibu dan calon bayinya. Untuk melakukan mitoni, harus dipilih hari yang benar-benar bagus dan membawa berkah. Orang Jawa memiliki perhitungan khusus dalam menentukan hari baik dan hari yang dianggap kurang baik. Selain itu, biasanya mitoni digelar pada siang atau sore hari. Hari yang dianggap baik adalah Senin siang sampai malam serta Jumat siang sampai Jumat malam. Mitoni tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat.
Mitoni atau tingkeban merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat jawa. Kata mitoni berasal dari kata “am” (awalan am menunjukkan kata kerja)  dan “7” yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada bulan ke-7. Upacara mitoni merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. Pada hakekatnya upacara ini dipercaya sebagai sarana menghilangkan petaka.
Upacara adat 7 bulanan yang disebut mitoni ataupun tingkeban ini mengajarkan kepada masyarakat untuk saling kerjasama menghargai terhadap sesama.tidak hanya itu, mitoni ini mengangkat berbagai macam kain-kain yang dipakai oleh calon ibu yang mempunyai makna masing-masing. Dari makna-makna tersebut kita dapat mengambil pelajaran, yaitu kita sebagai manusia makhluk ciptaan Allah SWT hendaknya harus cermat serta harus merencanakan bagaimana kita hidup di dunia ini yang penuh dengan kesenangan ataupun sendau gurau dan lainnya. Oleh sebab itu kita harus mempunyai rencana- rencana maupun target-target hidup di masa mendatang kelak, sehingga kita menjadi manusia yang sukses. Dalam prosesi mitoni juga dijelaskan bahwa yang memimpin upacara adalah ibu yang sudah berpengalaman, disini bisa dilihat bahwa dalam suatu acara maupun kepanitiaan maupun kepemerintahan, sudah tentu kita hendaknya memilih seseorang yang lebih mengerti maupun lebih berpengalaman untuk memimpin suatu kelompok.
Upacara “Tingkeban” merupakan adat, tradisi dan budaya bangsa Indonesia, khususnya masyarakat yang ada di pulau Jawa dan terlebih lagi bagi masyarakat di Jawa Timur, Jawa Tengah maupun di Daerah Istimewa Yogjakarta.

B.     Saran
1.      Lestarikan kebudayaan Jawa.
2.      Jika melaksanakan Upacara Mitoni pilihlah panitia yang memahami dan mengerti bagaimana proses pelaksanaan dan perlengkapan yang dibutuhkan.




















Daftar Pustaka
1. Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja  
    Mahadewa, 2009
2. http://www.jelajahbudaya.com/ (Jum’at 25 November 2011: 09.00)
3. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ (Jum’at 25 November 2011: 09.00)
4. Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja
    Mahadewa, 1880.
5.  Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
6. Betaljemur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
7. http://www.makalah adat dan tradisi.tingkeban mitoni.html
8. http://www. Ruby blog archive. Mitoni ritual untuk calon ibu dan bayi.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar